Sabtu, 06 April 2013

MAKALAH ILMU TAUHID "JABARIYAH"



JABARIYAH
ABSTRAK
            Pelopor aliran jabariyah adalah Jaham Ibnu Sofwan yang diduga mendapat ajaran dari kaum Yahudi. Jaham sangat giat mengajarkan fahamnya, sehingga aliran ini disebut juga “Jahamiyah”. Jaham ibnu sofwan berasal dari Khurasan yang pada mulanya adalah seorang juru tulis Harits bin Sureih. Nama Jaham terkenal karena ia seorang yang sungguh-sungguh, dan rajin bertablib. Pada tahun 131 H Jaham terbunuh. Sepeninggalnya, faham jabariyah terbabi menjadi tiga firqoh yaitu aliarn Jabariyah Jahamiyah (ekstrim), Jaham Najjamiyah (moderat) dan Jabariyah Dhirariyah. [1]
A.  PENDAHULUAN
Munculnya berbagai kelompok teologi dalam Islam tidak terlepas dari faktor historis yang menjadi landasan kajian. Bermula ketika Nabi Muhammad saw wafat, riak-riak perpecahan di antara kaum Muslim timbul kepermukaan. Perbedaan pendapat dikalangan sahabat tentang siapa pengganti pemimpin setelah Rasul, memicu pertikaian yang tidak bisa dihindari. Semua terbungkus dalam isu-isu yang bernuansa politik, dan kemudian berkembang pada persoalan keyakinan tentang tuhan dengan mengikut sertakan kelompok-kelompok mereka sebagai pemegang “predikat kebenaran”.
Perpecahan semakin meruncing ketika pada masa pemerintahan Ali, hal yang sentral diperdebatkan adalah masalah ”Imamah” atau kepemimpin. Golongan Syi’ah yang pro terhadap Ali sangat mendukung bahwa imamah harus diserahkan kepada Ali dan keturunannya. Sedangakan Khawarij dan Mu’tazilah menentang dengan pendapat mereka, bahwa siapapun berhak menduduki kursi kepemimpinan, termasuk budak. Jika ia memang dari kaum Muslim yang cakap dan berkualitas.
Terjadinya pembunuhan Utsman ra. (17 Juni 656 M), oleh pemberontak dari Mesir.[2] Merupakan fase kedua sengitnya perdebatan mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah. Tidak berhenti sampai di situ perdebatan semakin meluas tentang persoalan “dosa kecil” sampai pada “dosa besar”. Bahkan pada ranah “keimanan”. Dan penentuan siapa yang dianggap “mu’min”, “kafir”, “fasik”, dan bagaimana kedudukan mereka di akhirat nanti, serta tindakan Tuhan bagi perbuatan mereka.
Dari persoalan “iman” inilah, muncul aliran-aliran teologi, diantaranya; Syi’ah, Khowarij, Mu’tazilah, Asy-‘Ariyah, Al-Maturidi, Qodariyah, Jabariyah dan masih banyak lagi.
Yang kemudian menjadi tema sentral dalam pembahasan makalah ini adalah memandang “Perbuatan Manusia” dari kaca mata Jabariyah, sebagai salah satu aliran yang pernah eksis dan menjadi bahan perbincangan oleh banyak orang.
Dalam makalah ini akan dibahas tenteng pengertian, latar belakang, perkembangan, dokrin-dokrin, sekte-sekte dan para tokaoh aliran jabariyah. Di harapkan dengan adanya makalah ini pembaca dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca tentang aliran jabariyah baik dilihat dari pengertian, latar belakang, perkembanagan, dokrin-dokrin, sekte-sekte-sekte dan para tokoh aliran jabariyah.
B.  PERAN JABARIYAH
1.    Pengertian
            Secara bahasa jabariyah berasal dari kata جَبَرَ yang mengandung pengertian memaksa, dan mengharuskan melakukan sesuatu.[3] Di dalam kamus Al-Munjid dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Sedangkan secara istilah, jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur) . Menurut Harun Nasution jabariyah adalah faham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan oleh qadha dan qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, namun diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya. Di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.
Pengertian arti kata secara etimologi diatas telah dipahami bahwa kata jabara merupakan suatu paksaan di dalam melakukan setiap sesuatu. Atau dengan kata lain ada unsur keterpaksaan. Kata Jabara setelah berubah menjadi Jabariyah (dengan menambah Yaa’ nisbah) mengandung pengertian bahwa suatu kelompok atau suatu aliran (isme). Ditegaskan kembali dalam berbagai referensi yang dikemukakan oleh Asy-Syahratsan bahwa paham Al-Jabar berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah, dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam referensi Bahasa Inggris, Jabariyah disebut Fatalism atau Predestination. Yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha’ dan qadar Allah.[4]
Dapat Kita simpulkan bahwa aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang memahami bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh qadha’ dan qadar Tuhan. Jabariah adalah pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggungjawab. Maka Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan bebas dari tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya. Dalam soal ini manusia itu dianggap tidak lain melainkan bulu di udara dibawa angin menurut arah yang diinginkan-Nya. Maka manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar untuk memilih apa yang diinginkannya sendiri.
2.    Latar Belakang dan Perkembangan
            Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran jabariyah tidak ada penjelasan yang jelas. Abu Zahra menuturkan bahwa faham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan .
            Pendapat lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata tidak dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.
            Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan di sekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak bergantung pada alam, sehingga menyebabkan mereka menganut faham fanatisme . Faham ini pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan Bani Umayah. Sebenarnya benih-benih faham jabariyah juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah diantaranya:
a. Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.[5]
b. Khalifah Umar bin al-Khattab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diinterogasi pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri” mendengar itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu yaitu hukuman potong tangan dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c. Ketika Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang itu bertanya apabila (perjalanan menuju perang Siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa qadha dan qadar Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan paksaan, maka tidak ada pahala dengan siksa, gugur pula janji dan dan ancaman Allah, dan tidak ada pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
d. Adanya bibit pengaruh faham jabariyah yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran jabariyah muncul karena ada pengaruh dari pemikiran asing yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab qurra dan dar agama Kristen bermazhab yacobit.
            Paparan diatas menjelaskan bahwa, bibit faham jabariyah telah muncul sejak awal periode Islam. Namun, jabariyah sebagai suatu pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayah, yakni oleh kedua tokoh yang telah disebutkan diatas.
3.    Dokrin-Dokrin
Adapun dokrin-dokrin jabariyah yaitu:
1)      Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akhirat.
2)      Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah.[6]
3)      Kalam Tuhan adalah Makhluk. Al-Qur’an adalah mahluk yang dibuat sebagai suatu yang baru (hadis). Adapun fahamnya tentang melihat Tuhan, Jaham berpendapat bahwa, Tuhan sekali-kali tidak mungkin dapat dilihat oleh manusia di akhirat kelak.[7]
4)      Surga dn neraka tidak kekal. tentang keberadaan syurga-neraka, setelah manusia mendapatkan balasan di dalamnya, akhirnya lenyaplah syurga dan neraka itu. Dari pandangan ini nampaknya Jaham dengan tegas mengatakan bahwa, syurga dan neraka adalah suatu tempat yang tidak kekal.[8]
 4. Sekte-sekte dan Pembagian Jabariyah
a.    Jabariyah Ekstrim

            Doktrin Jabariyah ekstrim adalah segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya sendiri . Misalnya , kalau seorang pencuri , perbuatan mencuri bukanllah  terjadi atas kehendaknya sendiri akan tetapi timbul karena qadha dan qadar tuhan yang menghendaki demikian. Diantara pemuka jabariyah ekstrim adalah:
1.    Paham Jahm yang ada kaitannya dengan persoalan teologi adalah:
  • Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa.ia tidak mempumyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
  • Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain tuhan.
  • Iman dan ma’rifat atau membenarkan dengan hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang dimajukan kaum mur’jiah.
  • Kalam tuhan adalah makhluk. Allah mah asuci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula tuhan tidak dapat dilihat dengan indra diakhirat kelak. 
2.    Paham Ja‘ad adalah:
  • Al-Quran adalah mahluk. Oleh karena, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada allah
  • Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan mahluk, seperti berbigara, melihat dan mendengar.
  • Manusia terpaksa oleh allah dalam segala-galanya.[9]
b.    Jabariyah Moderat
Jabariyah moderat  mengatakan bahwa tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian-bagian di dalamnya.[10] Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya . inilah yang dimakud dengan kasab . Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh tuhan), tidak seperi wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan.

1.    Pendapat An-Najjar (wafat : 230 H) diantara pendapatnya dari Jabariah Moderat dari golongan Jabariah Moderat adalah :
·         Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia menganbil bagian atau peranan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.[11] Dengan demikian manusia dalam pandangan an-Najjar tidak lagi seperti wayang yang gerakannya  bergantung kepada dalang, sebagai tenaga yang diciptakan tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujdkan perbuatan-perbutannya.
  • Tuhan tidak dapat dilihat diakhirat. Akan tetapi , an-Najjar menyatakan bahwa tuhan dapat saja memindahkan potensi hai (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat.[12]
2.    Pendapat Adh-Dhirar tentang perbuatan manusia sama dengan husain An-Najjar, yakni :
  •  Perbuatan manusia dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh tuhan, tetapi juga oleh manusia.itu sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbutan-perbuatannya.
  • Mengenai ru’yat tuhan diakhirat, bahwa Tuhan dapat dilihat diakhirat melalui indra keenam . 
  • Hujjah yang dapat diterima setelah nabi adalah ijtihad. Hadist ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.[13]
C. Implikasi Pemikiran Jabariyah
Penjelasan yang tidak sedikti mengenai Jabariyah di atas, memunculkan inspirsi untuk membicarakan Jabariyah lebih dalam lagi. Hal pertama yang akan menjadi fokus utama pembicaraan adalah mengenai iktiqad Jabariyah  tentang penyerahan totalitas dalam qada dan Qadar kepada Tuhan.
Apakah buruknya orang yang berpegang kepada iktiqad jabariah ini? Secara tidak langsung, dalam iktiqad ini mereka telah menuduh Allah. Tanpa kesadaran, dia telah menuduh Allah, seolah-olah Dia  itu jahat dan zalim . kepada umat-Nya. Umpamanya, kalau seseorang itu miskin dan kemudian dia mengiktiqadkan bahawa manusia ini tidak ada usaha dan ikhtiar, kerana miskin itu sudah ditentukan kepada dirinya oleh qadha dan qadar Tuhan, dan manusia ini terpaksa tunduk saja kepada kuasa-Nya, maka seolah-olah dia telah menuduh bahawa Allah-lah yang telah memiskinkan dia, atau Allahlah yang telah menyusahkan dia. Dia tidak ada usaha dan ikhtiar untuk terlepas dari kemiskinan dan kesusahan tersebut.
Dalam pengalaman hidup kita sehari-hari, kebanyakan manusia ini berpegang kepada iktiqad jabariah, dan mungkin juga terjadi pada diri kita sendiri. Walaupun dalam hal ini dia tidak menginginkan dan tidak mengaku berpegang kepada iktiqad jabariah dan walaupun alasan yang dikemukakannya adalah berpegang pada iktiqad Ahli Sunnah Wal Jamaah, tetapi dalam sikapnya, perbuatannya dan kata-katanya, dia banyak melencong kepada iktiqad jabariah. Apakah bukti bahawa kebanyakan manusia ini berpegang kepada iktiqad jabariah dari segi sikap, perbuatan dan tutur katanya walaupun ia mengkaji dan kitabnya adalah kitab dan pelajaran Ahli Sunnah Wal Jamaah?
Untuk membuktikannya, coba kita tanya seseorang yang ditimpa kemiskinan tentang mengapa dia miskin. Nanti dia akan menjawab, “Apa boleh buat, sudah taqdir Allah!” Artinya, dia sudah menuduh Allah memiskinkan dirinya. Semua manusia telah terjebak kepada jabariah. Padahal dia belajar iktiqad Ahli Sunnah Wal Jamaah.
Tetapi dari kata-katanya, dia telah menunjukkan seolah-olah tidak ada pilihan untuk dirinya. artinya, apa saja yang telah menimpa dirinya, itulah yang telah ditentukan oleh Allah. Dia terpaksa tunduk saja di bawah kekuasaan Allah. Dia tidak ada usaha untuk mengatasinya.  Dengan ini dia telah mengiktiqadkan bahawa Allah-lah yang menyusahkan dirinya, dan sebagainya.
Akan tetapi kesimbangan dari analisis di atas, bahwa mempercayai takdir tidak identik dengan mempercayai paham Jabariyah. Semuanya akan menjadi demikian itu hanya apabila kita tidak memberikan peranan apapun kepada manusia dalam menciptakan perilakunya sendiri, yakni dengan menyerahkannya bulat-bulat kepada takdir. Padahal sungguh tak dapat diterima apabila kita mengatakan bahwa Allah SWT melakukan segala sesuatu tanpa perantaraan. Bahkan, yang benar ialah bahwa Allah SWT telah mengharuskan perwujudan segala sesuatu melalui lantaran-lantaran dan sebab-sebabnya yang khusus.
Qadha dan qadar tidak memiliki arti lain kecuali terbinanya sistem sebab akibat umum atas dasar pengetahuan dan kehendak Ilahi. Di antara konsekuensi penerimaan teori kausal dan kemestian terjadinya akibat pada saat adanya penyebab, serta keaslian hubungan antara keduanya, ialah bahwa kita harus mengatakan bahwa nasib setiap yang telah terjadi berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya. Dan bahwa sebab-sebab itu berkaitan dengannya, baik dengan anggapan adanya konsep Ilahi atau tidak, yakni baik sistem sebab akibat ini merupakan sistem yang terpisah dan mandiri ataupun ia berdiri dengan sesuatu yang lain dan bersandar kepada kehendak Ilahi. Sebab adanya sistem sebab-akibat tersebut, baik terpisah dan mandiri ataupun tidak, tak ada pengaruhnya terhadap masalah nasib dan kebebasan manusia.
Dari makna ini, kita berani mengatakan bahwa ucapan yang menyebutkan bahwa kepercayaan Jabariyah berasal dari kepercayaan kepada qadha dan qadar Ilahi, sungguh merupakan puncak kebodohan. Oleh sebab itu, wajiblah kita menyanggah kepercayaan seperti ini agar terlepas dari kesimpulan tersebut.
Sebab seandainya kita, dengan kepercayaan ini, bermaksud menolak keterkaitan antara sebab dan akibat, yang di antaranya termasuk kemampuan dan daya manusia, kehendak dan ikhtiarnya, maka qadha dan qadar seperti ini adalah suatu khurafat (nonsens) yang mustahil bisa terwujud, sesuai dengan dalil-dalil pasti yang ditegakkan oleh ilmu filsafat ketuhanan, sehingga tak ada lagi tempat untuk syak dan ragu. Jika dengannya kita bermaksud menetapkan keterikatan yang mesti antara sebab dan akibat, maka yang demikian itu adalah suatu kebenaran yang diterima tanpa ragu, dan tidak hanya khusus dikatakan oleh para ahli teologi saja, melainkan juga oleh setiap aliran yang mempercayai prinsip kausal umum. Kendatipun terdapat perbedaan, yakni bahwa kaum teologis mengangkat rangkaian sebab-sebab itu sampai ke suatu tingkat yang tidak terikat oleh dimensi ruang dan waktu, yakni tempat bermuaranya segala sesuatu atau sebab dari segala sebab, Zat yang Wajibul-Wujud, hakikat yang berdiri sendiri dengan Zat-Nya, yang kepada-Nya bermuara segala ketetapan (qadha) dan ketentuan (qadar). Namun perbedaan ini tidak berpengaruh sedikit pun dalam menetapkan adanya jabr (determinisme) ataupun menafikannya
Pandangan sekilas tentang indikasi-indikasi paham Jabariah, merupakan refleksi dari kehidupan manusia yang secara langsung maupun tidak lansung, sengaja ataupun tidak berpulang kepada tawakal atau kepasrahan kepada Tuhannya. Hal ini menimbulkan ketenangan tersendiri setelah adanya usaha ataupun ikhtiar yang dilakukan oleh seorang hamba.
D.  Simpulan
Faham al-jabar, kelihatannya ditonjolkan buat pertama kali dalam sejarah teologi Islam oleh al-Ja’d ibn Dirham. Tetapi yang menyiarkannya adalah Jahm ibn Safwan dari Khurasan. Jahm yang terrdapat dalam aliran jabariyah  sama dengan Jahm yang mendirikan golongan al-Jahmiah dalam kalangan Murji’ah sebagai sekretaris dari Syuraih ibn al-Harits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan itu Jahm sendiri dapat ditangkap dan kemudian dihukum bunuh ditahan 131 H. Akan tetapi benih-benihnya telah ada sejak zaman Rasulullah saw.
Para pemuka Jabariyah baik yang ekstrem dan moderat adalah; Jahm bin Safwan, Ja’ad bin Dirham, An-Najja dan Adh-Dhirar. Adapun doktrin aliran ini; Kelompok ekstrem memandang bahwa manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya. sedangkan menurut kaum moderat, tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition).  Dalam faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan.
Ayat- ayat yang membawa pada kejabariyahan diantaranya; QS. Al-An’am:111, QS. Ash-Shafat:96, QS. Al-Anfal :17, QS.Al-Insaan:30
Analisis tentang Jabariyah bermaksud mengaitkan iktiqad yang dipegangnya dengan realitas kehidupan manusia sebagai hamba. Kepasrahan kepada Tuhan atas segala usaha ataupun ikhtiar menunjukkan bahwa manusia akan kembali kepada Tuhannnya sebagai pihak penentu.
Tersaji dan tersusunnya makalah dengan tema Jabariyah, berusaha mengungkap historisasi pertumbuhannya, yang dimulai dari benih sampai pada terbentuknya menjadi institusi dengan beberapa doktrin yang menjadi karakteristik aliran tersebut. Para pemuka dan penjelasan lebih lanjut tentang doktrin yang diajarkan menjadi ulasan kesekian kalinya.
Sampainya tulisan ini kepada para pembaca, diharapkan mampu memancing gairah kepedulian untuk ikut berpartisipasi menuju pembahasan yang lebih kompleks lagi. Oleh karena itu penulis sedikit menyengaja memberikan ruang hampa untuk tempat para partisipator menyumbangkan ide-ide yang konstruktif dan imajinatif sebagai calon pemuka intelektual masa depan.
Sehingga adanya kekurang puasan ketika membaca hasil karya ini, adalah implikasi bahwa penulis termasuk hamba Tuhan yang eksis di alam semesta ini, dan memerlukan potensi orang lain untuk lebih produktif. Karena itulah, tarian lisan yang berupa gerak positif maupun negative terhadap kalimat-kalimat ini adalah landasan bagi kesempurnaan hakikat yang dituju.
E. DAFTAR PUSTAKA
Abd. Mu’in, Taib Thakhir, Ilmu Kalam, Penerbit Wijaya, Jakarta, Cet. Ke- 8, 1980
Abdul Razak, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung , 2009
Harun Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta, 1986
K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern ,  PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,  Cet. Ke-3, 2000
Murif Yahya, Ilmu Kalam, Bandung, 2012
M. Hanafi, Theologi Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1992
Nasir A , Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994
Rosihon,Anwar,  Ilmu Kalam, Pustaka Setia,  Bandung, Cet.II, 2003




[1] Murip yahya, Ilmu Kalam (Bandung; 2012), hlm.25
[2] K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern ( Cet. Ke-3,Jakarta;2000 ), hlm. 132
[3]. Abdul Razak, Ilmu Kalam(Bandung;2009),hlm.63
[4] . Harun Nasution, Teologi Islam(Jakarta;1986),hlm.31
[5] Aziz dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam(Jakarta.1;87).hlm.27-29
[6] Rosihon Anwar, Ilmu Kalam(Pustaka Setia;Bandung),hlm.67

[7] Ibid.hlm.68
[8] Taib Thakhir Abd. Mu’in, Ilmu Kalam ( Cet. Ke- 8; Jakarta;Penerbit Wijaya, 1980 ),hlm. 102

[9] Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, hlm.68
[10] Ibid.

[11] Asy-Syahratnasy Al-Milal wa An-Naha, (Darul Fikr, Beirut).hlm.89
[12] Rosihon Anwar.hlm.69
[13] Ibid.

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN "PENDIDIKAN SEBAGAI ILMU DAN SENI"



BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Pendidikan saat ini sangatlah penting bagi kehidupan manusia, karena dapat menentukan nasib seseorang dimasa depan. Pendidikan bias ditinjau dari ilmunya dan memiliki seni. Saat ini masih banyak masyarakat yang tidak mengenal pendidikan, mereka hanya bias mencari sesuatu yang bias menyambung hidup mereka. Bahkan saat ini tidak sedikit anak bangsa yang nekat melakukan tindakan criminal demi mendapatkan sesuatu yang merekan butuhkan.
Dalam buku Landasan Pendidikan tercantum “bahwa anak manusia mempunyai berbagai potensi yang masih tersembunyi, anak manusia memiliki kemampuan untuk berkembang, maka dijelaskan pula bahwa anak manusia dapat belajar secara efektif”. Sayangnya, di Negara kita banyak anak-anak yang tidak mengenal potensi dirinya sendiri. Bahkan ada yang merasa tidak berguna atau tidak bisa melakukan apa-apa.
Untuk lebih memahani tentang pendidikan maka dalam penyusunan makalah ini penulis bermaksud untuk menjelaskan tentang subpokok yang berjudul “Pendidikan Sebagai Ilmu da Seni”.

B.     Rumusan Masalah
Untuk menghindari adanya kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah ini, maka enulis membatasi masalah-masalah yang akan dibahas diantaranya :
1.      Apa Definisi, Karakteristik, dan Klasifikasi Ilmu ?
2.      Apa Definisi, Karakteristik, dan Klasifikasi Ilmu Pendidikan ?
3.      Apa Yang Dimaksud Pendidikan Sebagai Ilmu ?
4.      Apa Yang Dimaksud Dengan Studi Pendidikan ?
5.      Bagaimana Praktek Pendidikan Sebagai Panduan Ilmu dan Seni ?

C.     Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan Makalah Ini Adalah :
1.      Untuk Mendeskrifsikan Definisi, Karakteristik, dan Klasifikasi Ilmu.
2.      Untuk Mendeskrifsikan Definisi, Karakteristik, dan Klasifikasi Ilmu Pendidikan.
3.      Untuk Mengetahui Pendidikan Sebagai Seni.
4.      Untuk Mendeskrifsikan Konsep studi Pendidikan.
5.      Untuk Mengetahui Praktek Pendidikan Sebagai Panduan Ilmu dan Seni.

D.    Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini yaitu menggunakan metode studi literature, dimana sumber yang digunakan menggunakan sumber pustaka(buku) dan hasil browsing dari internet.

E.     Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan, meliputi : Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Metode Penulisan, Sistematika Penulisan.
Bab II Pembahasan, meliputi : Definisi, Karakteristik, dan Klasifikasi Ilmu, Definisi, Karakteristik, dan Klasifikasi Ilmu Pendidikan, Studi Pendidikan, Pendidikan Sebagai Seni, Praktek Pendidikan Sebagai Panduan Ilmu dan Seni.
Bab III Penutup                       : Simpulan dan Saran.


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Definisi, Karakteristik, dan Klasifikasi Ilmu.
Istilah ilmu berasal dari kata alima (Bahasa Arab) yang berarti pengetahuan. Di dalam bahasa Latin dikenal pula kata scire yang juga berarti pengetahuan. Ada berbagai jenis pengetahuan, jenis pengetahuan dikelompokan menjadi : revealed knowledge, intuitif knowledge, rational knowledge, empirical knowledge, dan  authoritative knowledge, dipihak lain ada juga yang mengelompokan jenis pengetahun menjadi :commonsense knowledge, dan religious knowledge. Secara etimologi ilmu adalah pengetahuan, karena itu semua pengetahuan tersebut diatas adalah ilmu.
Secara substansial dan operasional ilmu menunjukan kepada tiga hal, yakni : bodiesof knowledge, a body of systematic knowledge, dan scientific method. Ilmu mengandung arti secara kerja ilmiah dan hasil kerja ilmiah. Ilmu adalah pengetahuan ilmiah yang dihasilkan melalui metode ilmiah.
Ilmu memiliki karakteristik sebagai berikut :
1.      Objek studi ilmu meliputi berbagai hal sebatas yang terdapat dialami manusia. Setiap ilmu memilki objek material dan objek formal. Beberapa disiplin ilmu mungkin memilki objek formal yang berbeda. Objek studi setiap disiplin ilmu bersifat spesifik.
2.      Metode ilmiah adalah prosedur pemecahan masalah yang cermat dan terencana. Metode ilmiah merupakan gabungan dari pendekatan rasional dan empiris. Kerangka studinya merupakan proses logico-hypotetico-verifikasi, atau menggunakan kerangka berfikir deduktif-induktif. Namun demikian, metode ilmiah dapat bersifat kuantitatif atau kualitatif.
3.      Isi ilmu dapat berupa konsep, aksioma,postulat, prinsip, hukum teori, dan model. Dalam hal ini isi ilmu bersifat objektif, deskriftif, dan sajikan secara rinci dan sistematis.
4.      Fungsi ilmu adalah menjelaskan, menprediksi, dan mengontrol.
Berbagai jenis ilmu anatara lain diklasifikasikan ke dalam : natural science, dan human science. Klasifikasi lain adalah : natural science, social science, behavioral science, dan formal science. Ada pula yang mengklasifikasikan ilmu menjadi  ilmu murni dan ilmu terapan.

B.     Definisi, Karakteristik, dan Klasifikasi Ilmu Pendidikan
Ilmu pendidikan adalah system pengetahuan tentang fenomena pendidikan yang dihasilkan melalui riset dengan menggunakan metode ilmiah.
Ilmu pendidikan memilki karakteristik sebagai berikut :
1.      Objek studi : objek material ilmu pendidikan adalah manusia (manusia sebagai makhluk Tuhan yang berbeda hakiki dengan benda, tumbuhan, dan hewan), sedangkan objek formalnya adalah fenomena pendidikan, yaitu fenomena mendidik dan fenomena lain yang berhubungan dengan kegiatan mendidik.
2.      Metode : ilmu pendidikan menggunakan metode kualitatif dan atau metode kuantitatif. Penggunaan metode tersebut tergantung pada masalah atau objek penelitiannya.
3.      Isi ilmu pendidikan : sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, ilmu pendidikan dapat berupa konsep, aksioma, postulat, prinsip, hukum, teori, dan model. Dalam hal ini ilmu pendidikan bersifat objektif, deskriftif, preskriftif (normatif), yang disajikan secara rinci dan sistematis. Ilmu pendidikan tidak hanya bersifat deskriptif, melainkan juga preskriptif/normative.
4.      Fungsi ilmu pendidikan : menjelaskan, memprediksi, dan mengontrol.
5.      Ilmu pendidikan menggunakan ilmu-ilmu lain sebagai ilmu bantu.
Sekalipun demikian, menurut M.J Langeveld (1980), sebagai ilmu yang bersifat otonom ilmu pendidikan berperan sebagai “tuan rumah”, sedangkan ilmu-ilmu lain merupakan “tamu”nya.
M.J Langeveld mengklasifikasi ilmu pendidikan terbagi atas :
a.       Ilmu Mendidi Teoritas, yang meliputi :
1)      Ilmu Mendidik Sistematis.
2)      Sejarah Pendidikan
3)      Ilmu Perbandingan Pendidikan
b.      Ilmu Mendidik Praktis, yang meliputi :
1)      Didaktik/ Metodik
2)      Pendidikan dalam Keluarga
3)      Pendidikan Lembaga Keagamaan
Sedangkan Redja Mudyahardjo (2001) mengklasifikasi Ilmu Pendidikan sebagai berikut :
a.       Ilmu Pendidikan Makro
1)      Ilmu Pendidikan Administratif
2)      Ilmu Pendidikan Historis
3)      Ilmu Pendidikan Kependudukan
b.      Ilmu Pendidikan Mikro
1)      Ilmu Mendidik Umum yang Meliputi :
a)      Ilmu Pendidikan Psikologis
b)      Ilmu Pendidikan Sosiologis
c)      Ilmu Pendidikan Antropologis
d)     Ilmu Pendidikan Ekonomik
2)      Ilmu Mendidik Khusus :
a)      Ilmu  Persekolahan
b)      Ilmu  Pendidikan Luar Biasa (Orthopedagogik)
c)      Ilmu Pendidikan Luar Biasa

C.     Pendidikan (Mendidik) Sebagai Seni
Pendidikan antara lain dapat dipelajari melalui ilmu pendidikan, namun demikian pendidikan (praktek pendidikan atau mendidik) juga adalah seni. Alasannya bahwa praktek pendidikan melibatkan perasaaan dan nilai yang sebenarnya diluar daerah Impilan jeniulmu (ilmu yang berparadigma posotivisme). Sehubungan dengan itu, Gilbert Highet (1954) mengibaratkan praktek pendidikan sebagaimana orang melukis sesuatu, mengarang lagu, menata sebuah taman bunga, atau menulis surat untuk sahabat. Sedangkan menurut Galagher (1970) seni mendidik itu merrupakan: (1) keterampilan jenius yang hanya dimiliki oleh beberapa orang; dan (2) mereka tidak dapat menjelaskan secara sistematis bagaimana cara mereka mempraktekan keterampilan itu.
Praktek keterampilan diakui sebagai seni, implikasinya fungsi mendidik yang utama adalah menghasilkan suatu karya yang utuh, unik, sejati (bukan berpura-pura. atau dibuat-buat, anak tidak boleh dikorbankan sebagai kelinci percobaan), dan tiap pihak memperoleh manfaat. Selain itu, pendidik harus kreatif, skenario atau persiapan mengajar hanya dijadikan rambu-rambu saja, yang lebih penting adalah improvisasi. Pendidik harus memperhatikan minat, perhatian, dan hasrat anak didik.
Pengakuan pendidikan sebagai seni, tidak harus menggoyahkan pengakuan bahwa pendidikan dapat dipelajari secara ilmiah. Idealnya, pendidikan adalah aplikasi ilmu (ilmu pendidikan) tetapi sekaligus pula adalah seni.

D.    Studi Pendidikan
Studi pendidikan adalah upaya yang dilakukan seserang dalam rangka memahami pendidikan atau menghasilkan sisten konsep pendidikan.  Studi pendidikan dapat dilakukan melalui kegiatan membaca tentang pendidika, diskusi, penelitian ilmiah, dan berfilsafat tentang pendidikan. Adapun metode dalam studi pendidikan yaitu dapat dilakukan melalui metode tertentu, yaitu metode kerja awam, metode ilmiah, dan metode filsafat.
Studi pendidikan melalui metode keraja awam yaitu memahami pendidikan dengan cara berfikir commonsense  dan pengamatan. Studi pendidikan seperti ini biasanya dilakukan oleh masyarakat pada umumnya, dan menghasilkan konsep pendidikan yang kurang sistematis.
Studi pendidikan melalui metode ilmiah adalah upaya memahami pendidikan dengan menggunakan prosedur penelitian yang cermat dan terencana atau melalui berfikir kritis dengan menggunakan logika tertentu dan pengamatan empiris yang teliti, sebagimana dilakukan para ilmuwan. Namun dimikian pelaksanaan studi seperti ini bukan semata-mata monopoli para ilmuwan. Studi ilmiah pendidikan data dilakukan oleh siapapun dengan syarat bersangkutan telah menguasai metode penelitian ilmiah. Selain dilakukan oleh ilmuwan pendidika, studi ilmiah pendidikan dapat pula dilakukan oelh para mahasiswa pada program studi tertentu kependidikan yang sedang menyusun skripsi, para guru, dosen, dsb. Studi ilmiah pendidilan telah dilakukan oleh para ilmuwan atau para peneliti pendidikan sejak lama, dan telah menghasilkan system pendidikan yang bersifat deskriftif maupun preskriptif/normative yang disebut ilmu pendidikan.
Studi pendidikan melalui metode filsafat adalah upaya memahami pendidikan melalui berfikit reflektif sistematis, kritis radikal, dan sinoptif untuk menghasilkan system gagasan tentang pendidikan yang komprehensif dan preskriftif. Mengingat cara berfikir filsafat belum dikuasai banyak orang, maka studi filsafat pendidikan umumnya dilakukan oleh para filsuf. Studi demikian telah dilakukan sejak lama, dan telah menghasilkan apa yang dikenal sebagai fislafat pendidikan.


E.     Praktek Pendidikan Sebagai Panduan Ilmu dan Seni
1.      Pendidikan Sebagai Ilmu
Fenomena pendidikan dapat dipelajari melalui metode ilmiah yang menghasilkan ilmu pendidikan yang menjadi dasar dan petunjuk dalam praktek pendidikan. Dengan dasar Ilmu Pendidikan para pendidik dapat menyusun desain pembelajaran yang memuat tujuan, isi, metode, teknik mengajar serta evaluasinya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa praktek pendidikan merupakan aplikasi dalam ilmu pendidikan. Implikasi bahwa untuk menjadi seorang guru dapat dipelajari oleh siapapun melalui ilmu pendidikan tersebut.
2.      Pendidikan Sebagai Seni
           Gilbert Highet dalam bukunya “ The art of teaching “ yang menyatakan bahwa buku ini “ Seni Mengajar ” karena beliau yakin bahwa belajar itu adalah sebuah seni bukan ilmu. Menurutnya sangatlah berbahaya mempergunakan tujuan-tujuan dan metode ilmu untuk urusan manusia sebagai individu meskipun sistem statistik sering digunakan untuk menerangkan tingkah laku manusia dalam kelompok yang besar dan suatu diagnosa ilmiah tentang struktur fisik manusia selalu sangat bermanfaat. Mengajar tidaklah seperti menimbulkan reaksi kimia tetapi lebih mirip dengan melukis sebuah gambar atau menggelar sebuah musik dengan arti bahwa di dalam mengajar itu seseorang harus melibatkan diri didalamnya dan menyadari bahwa mengajar tidak seluruhya dikerjakan berdasarkan formula-formula atau anda akan merusak sendiri pekerjaan anda dan murid-murid anda serta anda sendiri (Redja M, 1995). Dengan demikian pendapat ini sangat bertentangan dengan pendapat sebelumnya tentang pendidikan sebagai ilmu.
3.      Pendidikan Sebagai Panduan Ilmu dan Seni
Menurut A.S Neil “ mendidik dan mengajar bukanlah suatu ilmu tetapi adalah seni “. Diartikan sebagai seni adalah bagaimana kita hidup dan mengerti anak-anak seolah-olah kita menjadi seperti anak. Menurut aliran konstruksivisme mengakui hal yang sama. Implikasi bahwa “ tugas guru adalah membantu agar siswa mampu merekonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasinya yang konkrit maka strategi mengajar perlu juga disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi murid. Mengajar adalah merupakan seni yang menuntut bukan hanya penguasaan teknik, melainkan juga intuisi “.
Dengan demikian pendidik memerlukan ilmu pendidikan dalam rangka memahami dan mempersiapkan suatu praktek pendidikan. Namun dalam prakteknya pendidik harus kreatif, skenario atau persiapan mengajar hanya dijadikan rambu-rambu saja, pendidik perlu melakukan improvisasi dengan harus memperhatikan karakteristik anak didik. Esensinya bahwa praktek pendidikan hendaknya merupakan perpasuan antara ilmu dan seni.


BAB III
PENUTUP


A.    Simpulan
Istila ilmu berasal dari kata alima (bahasa arab) yang berarti pengetahuan. Ilmu memiliki karakteristik, yaitu : objek studi, metode ilmiah, isi ilmu, fungsi ilmu. Klasifikasi jenis ilmu antara lain diklasifikasikan ke dalam : Natural science dan human science, atau ada juga yang mengklasifikasikan kedalam natural science, social science, behavioral science, dan formal science. Bahkan ada pula yang mengklasifikasikan ilmu menjadi  ilmu murni dan ilmu terapan.
Ilmu pendidikan adalah system pengetahuan tentang fenomena pendidikan yang dihasilkan melalui riset dengan menggunakan metode ilmiah.Ilmu pendidikan memilki karakteristik yaitu : objek studi, metode kualitatif dan atau kuantitatif, Isi ilmu pendidikan, dan Fungsi ilmu pendidikan. Ada 2 teori tentang mengklasifikasi ilmu pendidikan, yaitu : 1.Ilmu Mendidik Teoritas dan Praktis, dan 2. Ilmu Pendidikan Makro dan Mikro.
Pendidikan sebagai seni data dipahami bahwa praktek pendidikan melibatkan perasaan dan nilai yang sebenarnya diluar daerah ilmu, yang mengibaratkan praktek pendidikan sebagimana orang melukis sesuatu, mengarang lagu, menata sebuah taman bunga, atau menulis surat untuk sahabat.
Ilmu pendidikan merupanakan landasan dan petunjuk tentang cara melaksanakan pendidika, sedangkan Studi pendidikan adalah upaya yang dilakukan seserang dalam rangka memahami pendidikan atau menghasilkan sisten konsep pendidikan .Praktek Pendidikan sebagai paduan ilmu dan seni dapat diartikan sebagai :  Pendidikan sebagai ilmu, Pendidikan sebagai Seni, dan Pendidikan sebagai Paduan Ilmu dan Seni.

B.     Saran
Dengan penulisan makalah ini penulis berharap lembaga pendidikan dalam hal ini para pendidik mampu melaksanakan proses pembelajaran guna mempersiapkan segaa sesuatunya ulai dari objek, metode, isi,bahkan fungsinya supaya tujuan pendidikan itu bisa dicapai dengan baik dan bukan hanya sebagai ilmu melainkan sebagai sebi sehingga pendidik dapat berkreasi di dalam mengajarnya. Sehingga anak didik tersebut dapat merasakan kenyamanan di dalam kegiatan belajar mengajar dan menghilangkan rasa bosan dan jenuh dalam pembelajaran.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir,Filsafat Pendidikan Islami, Bandung : Rosdakarya, 2006.
Hasan Langgulung,Manusia da Pendidikan, Jakarta : PT. Al-Husna Zikra.2000.
Sunaryo Kartadinata, dkk, Landasan-landasan Pendidikan, Jakarta: Ditjen Dikti-Depdikbud,1997.
Tatang Syaripudin dan Nur’aini, Landasan Pendidikan, Bandung: UPI Press, 2006.
Uus Ruswandi, dkk, Landasan Pendidikan,Bandung: CV. Insan Mandiri, 2011.