JABARIYAH
ABSTRAK
Pelopor aliran jabariyah adalah
Jaham Ibnu Sofwan yang diduga mendapat ajaran dari kaum Yahudi. Jaham sangat
giat mengajarkan fahamnya, sehingga aliran ini disebut juga “Jahamiyah”. Jaham
ibnu sofwan berasal dari Khurasan yang pada mulanya adalah seorang juru tulis
Harits bin Sureih. Nama Jaham terkenal karena ia seorang yang sungguh-sungguh,
dan rajin bertablib. Pada tahun 131 H Jaham terbunuh. Sepeninggalnya, faham
jabariyah terbabi menjadi tiga firqoh yaitu aliarn Jabariyah Jahamiyah
(ekstrim), Jaham Najjamiyah (moderat) dan Jabariyah Dhirariyah. [1]
A.
PENDAHULUAN
Munculnya
berbagai kelompok teologi dalam Islam tidak terlepas dari faktor historis yang
menjadi landasan kajian. Bermula ketika Nabi Muhammad saw wafat, riak-riak perpecahan
di antara kaum Muslim timbul kepermukaan. Perbedaan pendapat dikalangan sahabat
tentang siapa pengganti pemimpin setelah Rasul, memicu pertikaian yang tidak
bisa dihindari. Semua terbungkus dalam isu-isu yang bernuansa politik, dan
kemudian berkembang pada persoalan keyakinan tentang tuhan dengan mengikut
sertakan kelompok-kelompok mereka sebagai pemegang “predikat kebenaran”.
Perpecahan
semakin meruncing ketika pada masa pemerintahan Ali, hal yang sentral
diperdebatkan adalah masalah ”Imamah” atau kepemimpin. Golongan Syi’ah
yang pro terhadap Ali sangat mendukung bahwa imamah harus diserahkan kepada Ali
dan keturunannya. Sedangakan Khawarij dan Mu’tazilah menentang dengan pendapat
mereka, bahwa siapapun berhak menduduki kursi kepemimpinan, termasuk budak.
Jika ia memang dari kaum Muslim yang cakap dan berkualitas.
Terjadinya
pembunuhan Utsman ra. (17 Juni 656 M), oleh pemberontak dari Mesir.[2]
Merupakan fase kedua sengitnya perdebatan mengenai siapa yang benar dan siapa
yang salah. Tidak berhenti sampai di situ perdebatan semakin meluas tentang
persoalan “dosa kecil” sampai pada “dosa besar”. Bahkan pada ranah “keimanan”.
Dan penentuan siapa yang dianggap “mu’min”, “kafir”, “fasik”, dan bagaimana
kedudukan mereka di akhirat nanti, serta tindakan Tuhan bagi perbuatan mereka.
Dari
persoalan “iman” inilah, muncul aliran-aliran teologi, diantaranya; Syi’ah,
Khowarij, Mu’tazilah, Asy-‘Ariyah, Al-Maturidi, Qodariyah, Jabariyah dan masih
banyak lagi.
Yang
kemudian menjadi tema sentral dalam pembahasan makalah ini adalah memandang
“Perbuatan Manusia” dari kaca mata Jabariyah, sebagai salah satu aliran yang
pernah eksis dan menjadi bahan perbincangan oleh banyak orang.
Dalam makalah
ini akan dibahas tenteng pengertian, latar belakang, perkembangan, dokrin-dokrin,
sekte-sekte dan para tokaoh aliran jabariyah. Di harapkan dengan adanya makalah
ini pembaca dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca tentang aliran
jabariyah baik dilihat dari pengertian, latar belakang, perkembanagan,
dokrin-dokrin, sekte-sekte-sekte dan para tokoh aliran jabariyah.
B.
PERAN JABARIYAH
1. Pengertian
Secara
bahasa jabariyah berasal dari kata جَبَرَ yang
mengandung pengertian memaksa, dan mengharuskan melakukan sesuatu.[3]
Di dalam kamus Al-Munjid dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata
jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.
Sedangkan secara istilah, jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari
manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah
manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur) . Menurut Harun
Nasution jabariyah adalah faham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia
telah ditentukan oleh qadha dan qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap
perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, namun
diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya. Di sini manusia tidak mempunyai
kebebasan dalam berbuat karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang
mengistilahkan bahwa jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan
sebagai dalangnya.
Pengertian arti kata secara
etimologi diatas telah dipahami bahwa kata jabara merupakan suatu paksaan di
dalam melakukan setiap sesuatu. Atau dengan kata lain ada unsur keterpaksaan.
Kata Jabara setelah berubah menjadi Jabariyah (dengan menambah Yaa’ nisbah)
mengandung pengertian bahwa suatu kelompok atau suatu aliran (isme). Ditegaskan
kembali dalam berbagai referensi yang dikemukakan oleh Asy-Syahratsan bahwa
paham Al-Jabar berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti sesungguhnya
dan menyandarkannya kepada Allah, dengan kata lain, manusia mengerjakan
perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam referensi Bahasa Inggris, Jabariyah
disebut Fatalism atau Predestination. Yaitu paham yang menyebutkan bahwa
perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha’ dan qadar Allah.[4]
Dapat Kita simpulkan bahwa aliran
Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang memahami bahwa segala perbuatan
yang mereka lakukan merupakan sebuah unsur keterpaksaan atas kehendak Tuhan
dikarenakan telah ditentukan oleh qadha’ dan qadar Tuhan. Jabariah adalah
pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh
tanggungjawab. Maka Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan
bebas dari tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia
itu diibaratkan benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah
Pencipta, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya. Dalam soal ini manusia itu
dianggap tidak lain melainkan bulu di udara dibawa angin menurut arah yang
diinginkan-Nya. Maka manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar untuk memilih apa
yang diinginkannya sendiri.
2.
Latar
Belakang dan Perkembangan
Adapun
mengenai latar belakang lahirnya aliran jabariyah tidak ada penjelasan yang
jelas. Abu Zahra menuturkan bahwa faham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa
bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah qadar dan
kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan .
Pendapat lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama
Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun
pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah
bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang
panas ternyata tidak dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan
suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon
kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat Arab tidak
melihat jalan untuk mengubah keadaan di sekeliling mereka sesuai dengan
kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi
kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak bergantung pada alam, sehingga
menyebabkan mereka menganut faham fanatisme . Faham ini pertama kali
diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan
dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang
mendirikan aliran jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih
bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan Bani Umayah.
Sebenarnya benih-benih faham jabariyah juga dapat dilihat dalam beberapa
peristiwa sejarah diantaranya:
a. Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya
yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk
memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran
tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.[5]
b. Khalifah Umar bin al-Khattab
pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diinterogasi pencuri itu berkata
“Tuhan telah menentukan aku mencuri” mendengar itu Umar memberikan dua jenis
hukuman kepada orang itu yaitu hukuman potong tangan dan hukuman dera karena
menggunakan dalil takdir Tuhan.
c. Ketika Ali bin Abu Thalib ditanya
tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang itu bertanya
apabila (perjalanan menuju perang Siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar
Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa
qadha dan qadar Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Sekiranya qadha dan qadar itu
merupakan paksaan, maka tidak ada pahala dengan siksa, gugur pula janji dan dan
ancaman Allah, dan tidak ada pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan
bagi orang berbuat dosa.
d. Adanya bibit pengaruh faham
jabariyah yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri.
Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran jabariyah muncul karena ada
pengaruh dari pemikiran asing yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab qurra dan
dar agama Kristen bermazhab yacobit.
Paparan diatas menjelaskan bahwa, bibit faham jabariyah telah muncul sejak awal
periode Islam. Namun, jabariyah sebagai suatu pola pikir atau aliran yang
dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah
Bani Umayah, yakni oleh kedua tokoh yang telah disebutkan diatas.
3.
Dokrin-Dokrin
Adapun
dokrin-dokrin jabariyah yaitu:
1) Manusia
tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang
keterpaksaan ini lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan
neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di
akhirat.
2) Iman
adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya
sama dengan konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah.[6]
3) Kalam
Tuhan adalah Makhluk. Al-Qur’an adalah mahluk yang dibuat sebagai suatu
yang baru (hadis). Adapun fahamnya tentang melihat Tuhan, Jaham berpendapat
bahwa, Tuhan sekali-kali tidak mungkin dapat dilihat oleh manusia di akhirat
kelak.[7]
4) Surga
dn neraka tidak kekal. tentang keberadaan syurga-neraka, setelah manusia
mendapatkan balasan di dalamnya, akhirnya lenyaplah syurga dan neraka itu. Dari
pandangan ini nampaknya Jaham dengan tegas mengatakan bahwa, syurga dan neraka
adalah suatu tempat yang tidak kekal.[8]
4. Sekte-sekte dan Pembagian Jabariyah
a.
Jabariyah Ekstrim
Doktrin Jabariyah ekstrim adalah segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya sendiri . Misalnya , kalau seorang pencuri , perbuatan mencuri bukanllah terjadi atas kehendaknya sendiri akan tetapi timbul karena qadha dan qadar tuhan yang menghendaki demikian. Diantara pemuka jabariyah ekstrim adalah:
1. Paham
Jahm yang ada kaitannya dengan persoalan teologi adalah:
- Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa.ia tidak mempumyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
- Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain tuhan.
- Iman dan ma’rifat atau membenarkan dengan hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang dimajukan kaum mur’jiah.
- Kalam tuhan adalah makhluk. Allah mah asuci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula tuhan tidak dapat dilihat dengan indra diakhirat kelak.
2. Paham
Ja‘ad adalah:
- Al-Quran adalah mahluk. Oleh karena, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada allah
- Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan mahluk, seperti berbigara, melihat dan mendengar.
- Manusia terpaksa oleh allah dalam segala-galanya.[9]
b.
Jabariyah Moderat
Jabariyah moderat mengatakan
bahwa tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun
perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian-bagian di dalamnya.[10]
Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatannya . inilah yang dimakud dengan kasab . Menurut faham kasab, manusia
tidaklah majbur (dipaksa oleh tuhan), tidak seperi wayang yang dikendalikan
oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia
memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan.
1.
Pendapat An-Najjar (wafat : 230 H) diantara pendapatnya dari Jabariah Moderat
dari golongan Jabariah Moderat adalah :
·
Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia menganbil bagian atau
peranan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.[11]
Dengan demikian manusia dalam pandangan an-Najjar tidak lagi seperti wayang
yang gerakannya bergantung kepada dalang, sebagai tenaga yang diciptakan
tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujdkan perbuatan-perbutannya.
- Tuhan tidak dapat dilihat diakhirat. Akan tetapi , an-Najjar menyatakan bahwa tuhan dapat saja memindahkan potensi hai (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat.[12]
2.
Pendapat Adh-Dhirar tentang perbuatan manusia sama dengan husain An-Najjar,
yakni :
- Perbuatan manusia dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh tuhan, tetapi juga oleh manusia.itu sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbutan-perbuatannya.
- Mengenai ru’yat tuhan diakhirat, bahwa Tuhan dapat dilihat diakhirat melalui indra keenam .
- Hujjah yang dapat diterima setelah nabi adalah ijtihad. Hadist ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.[13]
C. Implikasi
Pemikiran Jabariyah
Penjelasan
yang tidak sedikti mengenai Jabariyah di atas, memunculkan inspirsi untuk
membicarakan Jabariyah lebih dalam lagi. Hal pertama yang akan menjadi fokus
utama pembicaraan adalah mengenai iktiqad Jabariyah tentang penyerahan
totalitas dalam qada dan Qadar kepada Tuhan.
Apakah
buruknya orang yang berpegang kepada iktiqad jabariah ini? Secara tidak
langsung, dalam iktiqad ini mereka telah menuduh Allah. Tanpa kesadaran, dia
telah menuduh Allah, seolah-olah Dia itu jahat dan zalim . kepada
umat-Nya. Umpamanya, kalau seseorang itu miskin dan kemudian dia mengiktiqadkan
bahawa manusia ini tidak ada usaha dan ikhtiar, kerana miskin itu sudah
ditentukan kepada dirinya oleh qadha dan qadar Tuhan, dan manusia ini terpaksa
tunduk saja kepada kuasa-Nya, maka seolah-olah dia telah menuduh bahawa
Allah-lah yang telah memiskinkan dia, atau Allahlah yang telah menyusahkan dia.
Dia tidak ada usaha dan ikhtiar untuk terlepas dari kemiskinan dan kesusahan
tersebut.
Dalam
pengalaman hidup kita sehari-hari, kebanyakan manusia ini berpegang kepada
iktiqad jabariah, dan mungkin juga terjadi pada diri kita sendiri. Walaupun
dalam hal ini dia tidak menginginkan dan tidak mengaku berpegang kepada iktiqad
jabariah dan walaupun alasan yang dikemukakannya adalah berpegang pada iktiqad
Ahli Sunnah Wal Jamaah, tetapi dalam sikapnya, perbuatannya dan kata-katanya,
dia banyak melencong kepada iktiqad jabariah. Apakah bukti bahawa kebanyakan
manusia ini berpegang kepada iktiqad jabariah dari segi sikap, perbuatan dan
tutur katanya walaupun ia mengkaji dan kitabnya adalah kitab dan pelajaran Ahli
Sunnah Wal Jamaah?
Untuk
membuktikannya, coba kita tanya seseorang yang ditimpa kemiskinan tentang
mengapa dia miskin. Nanti dia akan menjawab, “Apa boleh buat, sudah taqdir
Allah!” Artinya, dia sudah menuduh Allah memiskinkan dirinya. Semua manusia
telah terjebak kepada jabariah. Padahal dia belajar iktiqad Ahli Sunnah Wal
Jamaah.
Tetapi dari
kata-katanya, dia telah menunjukkan seolah-olah tidak ada pilihan untuk
dirinya. artinya, apa saja yang telah menimpa dirinya, itulah yang telah
ditentukan oleh Allah. Dia terpaksa tunduk saja di bawah kekuasaan Allah. Dia
tidak ada usaha untuk mengatasinya. Dengan ini dia telah mengiktiqadkan
bahawa Allah-lah yang menyusahkan dirinya, dan sebagainya.
Akan tetapi
kesimbangan dari analisis di atas, bahwa mempercayai takdir tidak identik
dengan mempercayai paham Jabariyah. Semuanya akan menjadi demikian itu hanya
apabila kita tidak memberikan peranan apapun kepada manusia dalam menciptakan
perilakunya sendiri, yakni dengan menyerahkannya bulat-bulat kepada takdir.
Padahal sungguh tak dapat diterima apabila kita mengatakan bahwa Allah SWT
melakukan segala sesuatu tanpa perantaraan. Bahkan, yang benar ialah bahwa
Allah SWT telah mengharuskan perwujudan segala sesuatu melalui
lantaran-lantaran dan sebab-sebabnya yang khusus.
Qadha dan
qadar tidak memiliki arti lain kecuali terbinanya sistem sebab akibat umum atas
dasar pengetahuan dan kehendak Ilahi. Di antara konsekuensi penerimaan teori
kausal dan kemestian terjadinya akibat pada saat adanya penyebab, serta
keaslian hubungan antara keduanya, ialah bahwa kita harus mengatakan bahwa
nasib setiap yang telah terjadi berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya.
Dan bahwa sebab-sebab itu berkaitan dengannya, baik dengan anggapan adanya
konsep Ilahi atau tidak, yakni baik sistem sebab akibat ini merupakan sistem
yang terpisah dan mandiri ataupun ia berdiri dengan sesuatu yang lain dan
bersandar kepada kehendak Ilahi. Sebab adanya sistem sebab-akibat tersebut,
baik terpisah dan mandiri ataupun tidak, tak ada pengaruhnya terhadap masalah
nasib dan kebebasan manusia.
Dari makna
ini, kita berani mengatakan bahwa ucapan yang menyebutkan bahwa kepercayaan Jabariyah
berasal dari kepercayaan kepada qadha dan qadar Ilahi, sungguh merupakan puncak
kebodohan. Oleh sebab itu, wajiblah kita menyanggah kepercayaan seperti ini
agar terlepas dari kesimpulan tersebut.
Sebab
seandainya kita, dengan kepercayaan ini, bermaksud menolak keterkaitan antara
sebab dan akibat, yang di antaranya termasuk kemampuan dan daya manusia,
kehendak dan ikhtiarnya, maka qadha dan qadar seperti ini adalah suatu khurafat
(nonsens) yang mustahil bisa terwujud, sesuai dengan dalil-dalil pasti yang
ditegakkan oleh ilmu filsafat ketuhanan, sehingga tak ada lagi tempat untuk
syak dan ragu. Jika dengannya kita bermaksud menetapkan keterikatan yang mesti
antara sebab dan akibat, maka yang demikian itu adalah suatu kebenaran yang
diterima tanpa ragu, dan tidak hanya khusus dikatakan oleh para ahli teologi
saja, melainkan juga oleh setiap aliran yang mempercayai prinsip kausal umum.
Kendatipun terdapat perbedaan, yakni bahwa kaum teologis mengangkat rangkaian
sebab-sebab itu sampai ke suatu tingkat yang tidak terikat oleh dimensi ruang
dan waktu, yakni tempat bermuaranya segala sesuatu atau sebab dari segala
sebab, Zat yang Wajibul-Wujud, hakikat yang berdiri sendiri dengan Zat-Nya,
yang kepada-Nya bermuara segala ketetapan (qadha) dan ketentuan (qadar). Namun
perbedaan ini tidak berpengaruh sedikit pun dalam menetapkan adanya jabr
(determinisme) ataupun menafikannya
Pandangan
sekilas tentang indikasi-indikasi paham Jabariah, merupakan refleksi dari
kehidupan manusia yang secara langsung maupun tidak lansung, sengaja ataupun
tidak berpulang kepada tawakal atau kepasrahan kepada Tuhannya. Hal ini
menimbulkan ketenangan tersendiri setelah adanya usaha ataupun ikhtiar yang
dilakukan oleh seorang hamba.
D. Simpulan
Faham al-jabar,
kelihatannya ditonjolkan buat pertama kali dalam sejarah teologi Islam oleh
al-Ja’d ibn Dirham. Tetapi yang menyiarkannya adalah Jahm ibn Safwan dari
Khurasan. Jahm yang terrdapat dalam aliran jabariyah sama dengan
Jahm yang mendirikan golongan al-Jahmiah dalam kalangan Murji’ah sebagai
sekretaris dari Syuraih ibn al-Harits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan
Bani Umayyah. Dalam perlawanan itu Jahm sendiri dapat ditangkap dan kemudian
dihukum bunuh ditahan 131 H. Akan tetapi benih-benihnya telah ada sejak zaman
Rasulullah saw.
Para pemuka
Jabariyah baik yang ekstrem dan moderat adalah; Jahm bin Safwan, Ja’ad bin
Dirham, An-Najja dan Adh-Dhirar. Adapun doktrin aliran ini; Kelompok ekstrem
memandang bahwa manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak
sendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia dalam perbuatan-perbuatannya
adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.
sedangkan menurut kaum moderat, tuhan memang menciptakan perbuatan
manusia, baik perbuatan jahat maupun baik, tetapi manusia mempunyai bagian di
dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk
mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition). Dalam
faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh tuhan), tidak seperti
wayang yang dikendalikan oleh dalang tidak pula menjadi pencipta perbuatan,
tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan.
Ayat- ayat
yang membawa pada kejabariyahan diantaranya; QS. Al-An’am:111, QS.
Ash-Shafat:96, QS. Al-Anfal :17, QS.Al-Insaan:30
Analisis tentang
Jabariyah bermaksud mengaitkan iktiqad yang dipegangnya dengan realitas
kehidupan manusia sebagai hamba. Kepasrahan kepada Tuhan atas segala usaha
ataupun ikhtiar menunjukkan bahwa manusia akan kembali kepada Tuhannnya sebagai
pihak penentu.
Tersaji dan
tersusunnya makalah dengan tema Jabariyah, berusaha mengungkap historisasi
pertumbuhannya, yang dimulai dari benih sampai pada terbentuknya menjadi
institusi dengan beberapa doktrin yang menjadi karakteristik aliran tersebut.
Para pemuka dan penjelasan lebih lanjut tentang doktrin yang diajarkan menjadi
ulasan kesekian kalinya.
Sampainya
tulisan ini kepada para pembaca, diharapkan mampu memancing gairah kepedulian
untuk ikut berpartisipasi menuju pembahasan yang lebih kompleks lagi. Oleh
karena itu penulis sedikit menyengaja memberikan ruang hampa untuk tempat para
partisipator menyumbangkan ide-ide yang konstruktif dan imajinatif sebagai
calon pemuka intelektual masa depan.
Sehingga adanya kekurang puasan
ketika membaca hasil karya ini, adalah implikasi bahwa penulis termasuk hamba
Tuhan yang eksis di alam semesta ini, dan memerlukan potensi orang lain untuk
lebih produktif. Karena itulah, tarian lisan yang berupa gerak positif maupun
negative terhadap kalimat-kalimat ini adalah landasan bagi kesempurnaan hakikat
yang dituju.
E.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Mu’in, Taib Thakhir, Ilmu Kalam, Penerbit
Wijaya, Jakarta, Cet. Ke- 8, 1980
Abdul Razak,
Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung , 2009
Harun Nasution, Teologi
Islam, UI-Press, Jakarta, 1986
K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern ,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. Ke-3, 2000
M. Hanafi, Theologi
Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1992
Nasir A ,
Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994
Rosihon,Anwar, Ilmu
Kalam, Pustaka Setia, Bandung, Cet.II, 2003
[1] Murip yahya, Ilmu Kalam (Bandung; 2012), hlm.25
[4] . Harun Nasution, Teologi Islam(Jakarta;1986),hlm.31
[5] Aziz dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam(Jakarta.1;87).hlm.27-29
[7] Ibid.hlm.68
[10] Ibid.
[11] Asy-Syahratnasy Al-Milal wa An-Naha, (Darul Fikr,
Beirut).hlm.89
[12] Rosihon Anwar.hlm.69