Sabtu, 06 April 2013

MAKALAH ULUMUL HADITS "SEJARAH KEDIFIKASI PRA DAN PASCA HADITS"



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam mengenal dua sumber primer dalam perundang-undangan. Pertama, Al-Qur’an dan kedua al-Hadits. Terdapat perbedaan yang signifikan pada sistem inventarisasi sumber tersebut. Al-Qur’an sejak awal diturunkan sudah ada perintah pembukuannya secara resmi, sehingga terpelihara dari kemungkinan pemalsuan. Berbeda dengan hadits, tak ada perlakuan khusus yang baku padanya, sehingga pemeliharaannya lebih merupakan spontanitas dan inisiatif para sahabat.
Hadits pada awalnya hanyalah sebuah literatur yang mencakup semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Persetujuan Nabi yang tidak diucapkan terhadap orang-orang pada zamannya, dan gambaran-gambaran tentang pribadi Nabi. Mula-mula hadits dihafalkan dan secara lisan disampaikan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.
Setelah Nabi wafat pada tahun 10 H., islam merasakan kehilangan yang sangat besar. Nabi Muhammad SAW. Yang dianggap sebagai yang memiliki otaritas ajaran islam, dengan kematiannya umat merasakan otoritas. Hanya Al-Qur’an satu-satunya sumber informasi yang tersedia untuk memecahkan berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah umat islam yang masih muda itu, wahyu-wahyu ilahi, meskipun sudah dicatat, belum disusun dengan baik, dan belum dapat diperoleh atau tersedia secara materil ketika Nabi Muahammad SAW. wafat. Wahyu-wahyu dalam Al-Qur’an yang sangat sedikit sekali mengandung petunjuk yang praktis untuk dijadikan prinsip pembimbing yang umum dalam berbagai aktivitas. Khalifah-khalifah awal membimbing kaum muslim dengan semangat Nabi, meskipun terkadang bersandar pada penilaian pribadi mereka. Namun, setelah beberapa lama, ketika muncul kesulitan-kesulitan yang tidak dapat lagi mereka pecahkan sendiri, mereka mulai menjadikan sunnah, seperti yang merupakan kebiasaan perilaku Nabi sebagai acuan dan contoh dalam memutuskan suatu masalah. Sunnah yang hanya terdapat dalam hafalan-hafalan sahabat tersebut dijadikan sebagai bagian dari referensi penting setelah Al-Qur’an. Bentuk-bentuk kumpulan hafalan inilah yang kemudian disebut dengan hadits.

B.     Rumusan Masalah
Untuk menghindari adanya kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah ini, maka penulis membatasi masalah-masalah yang akan dibahas diantaranya :
1.      Apa Yang Dimaksud Dengan Sejarah Perkembangan Hadits ?
2.      Bagaimana Kodifikasi Sejarah Perkembangan Hadits ?
3.      Bagaimana Perkembangan Hadist Pra-Kodifikasi Pada Masa Rosulullah SAW ?
4.      Bagaimana Perkembangan Hadits Masa Khulafa al-Rasyidin ?
5.      Bagaimana Perkembangan Hadist Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar ?
6.      Bagaimana Perkembangan Hadits Pasca Kodifikasi Pada Masa Abad II dan III ?
7.      Bagaimana Perkembangan Hadits Pada Masa Mutaakhir ?

C.     Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalaha sebagai berikut :
1.      Untuk Mengetahui Pengertian Sejarah Perkembangan Hadits.
2.      Untuk Mengetahui Kodifikasi Sejarah Perkembangan Hadits.
3.      Untuk Mengetahui Perkembangan Hadist Pra-Kodifikasi Pada Masa Rosulullah SAW.
4.      Untuk Mengetahui Perkembangan Hadits Masa Khulafa al-Rasyidin.
5.      Untuk Mengetahui Perkembangan Hadist Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar.
6.      Untuk Mengetahui Perkembangan Hadits Pasca Kodifikasi Pada Masa Abad II dan III.
7.      Untuk Mengetahui Perkembangan Hadits Pada Masa Mutaakhir.

D.    Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini yaitu menggunakan metode studi literature, dimana sumber yang digunakan menggunakan sumber pustaka(buku) dan hasil browsing dari internet.

E.     Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan, meliputi :Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Metode Penulisan, Sistematika Penulisan.
BAB II Pembahasan, Meliputi : Pengertian Sejarah Perkembangan Hadits, Kodifikasi Sejarah Perkembangan Hadits, Perkembangan Hadist Pra-Kodifikasi Pada Masa Rosulullah SAW, Perkembangan Hadits Masa Khulafa al-Rasyidin, Perkembangan Hadist Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar, Perkembangan Hadits Pasca Kodifikasi Pada Masa Abad II dan III, Perkembangan Hadits Pada Masa Mutaakhir.
BAB III Penutupan, meliputi : Simpulan dan Saran.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sejarah Perkembangan hadist
Sejarah perkembang hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman umat darigenerasi ke generasi. (Endang Soetari.2005.hlm 29). Dengan memperhatikan masa yang telah dilalui hadits sejak masa timbulnya/lahirnya di zaman Nabi SAW.meneliti dan membina hadits.

B.     Kodifikasi Sejarah Perkembangan Hadits
Berdasarkan  referenesi yang kami dapat dalam buku dan internet yaitu para ulama dalam upaya berusaha untuk mengembangkan hadits dan membinanya serta segala hal yang mempengaruhi hadits tersebut sehingga para Ulama Muhaddisin membagi sejarah hadits dalam beberapa bagian, yaitu sejarah perkembangan hadist pra dan pasca kodifikasi. Kemudian dibagi lagi dalam tujuh periode.
Berikut periodisasi sejarah hadits yang membaginya pada lima periode :
1.      Periode pertama : masa Rasullulah semenjak Rasullulah diangkat jadi Rasul sampai wafatnya “Masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam”
2.      Periode kedua : masa Khulafa’Ar-Rasyidin (11 H - 40 H)“Masa membatasi dan penyedikitan periwayatan”
3.      Periode ketiga : Masa Sahabat kecil dan Tabiin “Masa perkembangan dan penyebarluasan periwayatan hadits”.
4.      Periode keempat : Masa abad II dan III Hijriyah “Masa pembukuan dan penulisan”.
5.      Periode kelima : Masa Mutaakhir “Masa Penyempurnaan penyususnan hadits”

C.     Perkembangan Hadist Pra-Kodifikasi Pada Masa Rosulullah SAW
Pada periode ini sejarah hadist disebut “ Ashr al – Wahyiwa al – Takwin” ( masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat islam ). Pada saat inilah Hadist lahir berupa sabda (aqwal), af’al da taqrir. Nabi yang berfungsi menerangkan al-qur’an dalam rangka menegakkan syari’at islam dan membentuk masyarakat Islam.
Para sahabat menerima hadits secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW.memberikan ceramah, pengajian,khotbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak lansung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan daerah yang datang kepada Nabi SAW.
Pada masa Nabi SAW.kepandaian baca tulis dikalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulsi dikalangan sahabat masih kuran, Nabi menekankan untuk menhafal, memahami, memelihara, mematrekan, dan memantapkan hadits dalam amalan seharisehari, serta mentabligkannya kepada oranglain.
Tidak dituliskannya hadits secara resmi pada masa nabi, buakn berarti tidak ada sahabat yang menulis hadits. Dalam sejarah penulisan hadits terdapat nama-nama sahabat yang menulis hadits, diantaranya ;
1.      ‘Abdullah Ibn Amr Ibn ‘Ash
2.      Ali Ibn Abi Thalib
3.      Anas Ibn Malik
Disamping itu, ketika Nabi SAW.menyelenggarakan dakwah dan pembinaan umat, beliau sering mengirimkan surat-surat seruanpemberitahuan , antara lain kepada pejabat didaerah dan tentang seruan dakwah islamiyah kepada para raja dan kabilah, baik ditimur, utara, dan barat. Surat-surat terserbut merupakan koleksi hadits juga. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pada masa Nabi SAW.telah dilakukan penulisan hadits di kalanagn sahabat.

D.    Perkembangan Hadits Masa Khulafa al-Rasyidin
Perkembangan hadits pada masa khulafa’al-Rasyidin ini disebut juga sebagai ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’. Yaitu masa pembatasan dan penyedikitan periwayat.(Agus Solahudin.2011. hal 34)
Pada masa menjelang akhir kerasulannya, Rasulullah SAW. Berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadits serta mengajarkan kepada orang lain, sebagaimana sabdanya :
تر كت فئكم ا مر ئن لن تصلؤا ا بدا ماا ن تمسكتم بهم كتا ب ا لله ؤ سنة ر سؤ له (ر ؤ ا ه ت حا كم )             
“telah aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka. Jika kalian berpegang teguh kepada keduanya niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunah Rasul-Nya. ”(Mudasir.1999.hal 95)
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadits tersebar secara terbatas. Penulisan hadits pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadits dan sebaliknya Umar menekankan agar para sahabat mengerahankan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Qur’an*. Pembatasan tersebut dimaksud agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama Rosulullah SAW.dalam berbagai urusan. Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rosulullah SAW harus dengan mendatangkan saksi.*
Pada masa itu, khalifah Umar memiliki gagasan untuk membukukan hadits, namun maksdu tersebut diurungkan setelah beliau melakukan istikharah.
Pada masa pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib tentang periwayatan tidak berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah sebelumnya. Namun, langkah yang diterapkan  tidaklah setegas Khalifah Umar Ibn al-Khattab. Dalam sebuah kesempatan, Utsman meminta para sahabat agar tidak meriwayatkan hadits yang tidak mereka dengar pada zaman Abu Bakar dan Umar. Namun pada dasarnya periwayatan hadits pada masa pemerintahan ini lebih banyak daripada pemerintahan sebelumnya. Sehingga masa ini disebut dengan masa penyebaran sebuah hadits.  Hal ini disebabkan oleh karakteristik pribadi Utsman yang lebih lunak jika dibandingkan dengan Umar. Selain itu, wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas juga menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan riwayat secara maksimal.
   Sementara pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasinya pemerintahan Islam telah berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Masa itu merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadinya peperangan antara beberapa kelompok kepentingan politik juga mewarnai pemerintahan Ali. Secara tidak langsung, hal itu membawa dampak negative dalam periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits. Dengan demikian, tidak seluruh periwayatan hadits dapat dipercaya periwayatannya.
Dalam prakteknya, ada dua tipologi cirri-ciri periwayatan hadits dalam perkembangannya yang dilakukan para sahabat, yakni :
1.      Dengan lafadz asli, lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW.yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
2.      Dengan maknanya saja, mereka meriwayatkan  maknanya karena tidak hafal lafazh asli dari Nabi SAW.(Maslani.2009.hal )

E.      Perkembangan Hadist Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar
Perkembangan Hadist Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar in disebut juga ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila A-Amshr’. Yaitu masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadits. Pada masa ini, daerah islam sudah meluas, yakni ke Negara Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H meluas sampai ke Spanyol.hal ini besamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadits.
Para sahabat kecil dan tabi’in yang ingin mengetahui hadits-hadits Nabi SAW.diharuskan berangkat keseluruh pelosok daerah daulah Islamiyah untuk menanyakan hadist kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar diwiayah tersebut. Dengan demikian, pada masa ini, disamping tersebarnya periwayatan untuk mencari haditspun menjadi ramai. Karena meningkatnya periwayatan hadits, muncullah bendaharawan dan lembaga hadits diberbagai daerah diseluruh negeri. Diantara bendarawan hadits yan banyak menerima, menghafal, dan mengembanhkan atau meriwayatkan hadits adalah :
1.      Abu Hurairah
2.      ‘Abdullah Ibn Umar
3.      ‘Aisyah
4.      ‘Abdullah Ibn ‘Abbas
5.      Jabir Ibn ‘Abdullah
6.      Abu Sa’id Al-Khudri
Adapun lembaga-lembaga hadits yang menjadi pusat bagi usaha penggalian, pedidikan, dan pengembangan hadits diantaranya terdapat di Madinah, Mekkah, Bashrah, Syam, dan Mesir.
Pada periode ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak beranggung. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali. r.a. Pada masa ini, umat islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan. Yakni, : ‘Ali Ibn Abi Thalib, Khawarij, dan Jumruh.
Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-yang berasal dari Rasulullah SAW.untuk mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadits palsu dan menyebarkannya kepada masyarakat.(Agus Solehudin.2011.hal 38)

F.       Perkembangan Hadits Pasca Kodifikasi Pada Masa Abad II dan III
Periode ini disebut “ASAHR AL-Kitabah Al-Tadwin”, yakni masa penulisan dan pembukuan. Maksudnya penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah secara umum. Sebab kalau secara peroranga sebelum abad II H. hadist sudah banyak ditulis baik pada masa tabi’in sahabt kecil, sahabat besar dan bahkan sejak masa nabi SAW       
         Para penulis hadist yang menonjol sebelum abad II H. dari kalangan tabi’in adalah; Aban ibn ‘Usman (100H), ‘Abdullah ibn Hurmus (100H), ‘Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Ali (99H), ‘Abdullah ibn Rabbah (90H), ‘Abdullah ibn Mas’ud (79H), ‘Abd al-Rahman ibn Aidh (80H) dan lain-lainnya, yang menurut M.M. Azmi, penulis sebelum abad II H. meliputi 86 orang tabi’in diakhir abad ke-I H, 48 orang tabi’in pada masa sebelum akhir masa tabi’in, 50 orang dari kalangan sahabat.
        Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan khalifah ‘Umar ibn Abd al-‘Aziz tahun 101 H.
.
1.      Dorongan bagi Usaha Pentadwinan Hadist
a.       Pada akhir abad I H. para penghafal hadist semakin berkurang karena sudah banyak yang meninggal dunia.
b.      Periwayatan secara lisan dengan berperang dan ingatan dalam keseragaman lafazh dan makna tidak bisa berlangsung sangat lama, sebabnya ialah:
1)      Factor intern: kondis kaum muslimin sendiri dalam menghafal riwayat dan memelihara hafalan tersebut makin lama berkurang, dikarenakan antara lain:
a)      Semangat penghafal berkurang karena pengaruh kadar iman yang berada pada dada kaum muslimin melemah.
b)      Perubahan watak, pengaruh, pengaruh campuran ras dan berubahnya keadaan masyarakat dan kehidupan.
2)      Factor ekstern: pengaruh yang dating dari luar, antara lain:
a)      Makin banyaknya problema hidup dari masa ke masa dalam berbagai sector kehidupan sosail, ekonomi, dan politik.
b)      Tidak henti- hentinya terdapat serangan dari kaum yang sengaja merusak Hadist dengan jalan mengaburkan Hadist – hadist yang sebenarnya.
Oleh karena itu terasa perlunya diselenggarakan pencatatan hadist dengan tidak mengabaikan hafalan dan ingatan.
c.       Mulai tahun 40H, periwayatan hadist dikaburkan oleh timbulnya pemalsuan hadist yang dilakukan oleh orang – orang kafir, munafik dan zindiq, didorong oleh peristiwa yang terjadi dikalangan umat islam.
d.      Pada masa tabi’in tidak dikhawatirkan lagi tercampurnya antara al-quran dan hadist, sehingga tidak menimbulkan kesamaran tentang al-quran sebagai dasar tasyri’ yang pertama yang telah dibukukan, maka hadist oun yang berfungsi sebagai interpretasi al-quran, secara otomatis harus dibukukan pula.
e.       Perkembangan ilmu pengetahuan semakin maju karena semakin luasnya scope pengenalan umat dan pertemuan peradaban antara orang islam dengan anak-anak negeri yang kemudian menjadi wilayah islam.
f.       Pada umat islam sudah tersedia potensi atau sarana untuk keperluan penulisan, pengumpulan dan pembukuan hadist.

2.      Tujuan dan Faedah Pentadwinan Hadits
a.       Segi kepentingan agama
1)     Tujuan tadwin hadist ditinjau dari kepentingan agama berpangkal pada masalah pemeliharaan syari’at.
b.      Dari segi kebutuhan umat:
  1). Untuk pelaksanaan agama, maka umat islam memerlukan sekali    pedoman praktis yang secara mudah dan efisien.
              2). Untuk istinbath bagi persoalan-persoalan kehidupan.
              3). Untuk menghindari kekaburan umat islam tentang hadist.
Aktifitas tadwin hadist secara resmi dimulai pada masa khalifah ‘Umar ibn Abd al-‘Aziz (khalifah ke-8 dari daulah ummayah) yang terkenal adil dan wara serta ahli dalam berbagai ilmu.
Untuk merealisasikan niatnya itu, pertama – tama beliau meminta kepada gubernur madinah, Abu Bakar ibn             Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm, supaya membukukan hadist Nabi SAW yang terdapat pada ‘Amarah binti ‘Abd al- Rahman ibn sa’ad ibn Zurarah ibn ‘ Ades.
Surat Umar ibn Abd al- ‘Azis yang ditujukan kepada gubernur dapat disimpulkan sebagai berikut:
a)      Perintah meneliti dan membukukan hadist Rasul SAW dengan ketentuan jangan diterima selain hadist rasul.
b)     Perintah untuk menyebar luaskan hadist – hadist tersebut dengan jalan mengadakan majlis – majlis ilmu, supaya hadist tidak lenyap karna menjadi rahasia.
            Aktifitas pentadwinan hadist secara resmi dan intensif berlangsung selama abad ke II dan III H, yakni aktifitas sampai terkumpulnya seluruh hadis dalam diwan-diwan hadist. Pelopor mudawid adalah Abu Bakar ibn Muhammad ibn Muslim ibn ‘ Ubaidillah ibn Syihab al – Zuhri, seorang tabi’I yang ahli dalam bidnang fiqih dan hadist. Dan Pelopor tadwin dengan seleksi adalah Ishaq ibn Rawaih yang diikuti dan disempurnakan oleh al- Bukhari dan Muslim.
Fase-fase Pentadwinan :
a)      Fase Tadwin masa pertama
Pada fase ini para Mudawwin mengadakan tadwin dengan memasukkan ke dalam diwannya semua hadist, baik sabda Nabi SAW maupun fatwa sahabt dan tabi’in.
Jadi meliputi hadist marfu’, ‘ mauquf dan Maqthu. Corak tadwin ini berlangsung selama abad II H. Kitab – kitab yang disusun pada masa ini tidak sampai pada masa kita sekarang kecuali kitab al- Muwatha’ susunan Malik ibn Anas.
b)     Fase Tadwin dengan Kualifikasi
Pada awal abad III H. para ulama melaksankan tadwin hadis dengan memisahkan antara sabda Nabi SAW dengan fatwa sahabat dan tabi’in (kualifikasi).
System penyusunan yang dipakai adalah tasnid, yakni menyusun Hadist dalam kitab-kitab berdasarkan nama sahabat perawi. Sedangkan di dalam menerbitkan nma sahabat ada yang menerbitkan menurut tertib kabilah, ada yang menurut masa memeluk agama islam dan ada pula yang tidak memperhatikan tertiban ini.
c)      Fase Tadwin dengan seleksi
Hal yang mendorong usaha tadwin dengan seleksi ini dalah karena meluasnya pemalsuan hadist di akhir abad II H, dan awal abad III H. Untuk menanggulangi hal itu bangkitlah para ulama untuk lebih mengintensifikasikan dalam hal-hal:
§  Penelitian dan pembahasan tentang perawi hadist dari berbagai segi: keadilan, ke dhabitan, yang hal ini diambil dari biografi para perawi.
§  Penyahihan hadist atas kaidah-kaidah ilmu hadist yang membedakan anatara hadist-hadist yang shahih dan yang dha’if.
Corak tadwin dengan seleksi menghasilakan dua jenis diwan hadist.
a)      Kitab Shahih, yakni kitab-kitab yang penyusunnya tidak memasukkan ke dalamnya selain dari hadist shahih saja. Kitab shahih antara lain: (1) shahih Bukhari, (2) shahih Muslim, (3) shahih al- Mustadrak Hakim, (4) shahih Ibn Hibban, (5) shahih Ibn Khuzaimah, (6) shahih Abu ‘Awanah, dan (7) shahih Ibn Jarud.
b)     Kitab sunan,yakni kitab yang oleh penyusunannya tidak dimasukkan kedalamnya hadist-hadist munkar dan yang sderajatnya. Kitab sunan antara lain: (1) sunan Abu Dawud, (2) sunan Turmudzu, (3) sunan al-Nas’I, (4) sunan Ibn Majah, (5) sunan al-Damiri, (6) sunan al-Dailami, (7) sunan Baihaqi, dan (8) sunan al-Daruqhuthi.
      Diantara kitab-kitab yang terkenal adalah: (1) Al-jami’ al-sahih al- Bukhari, (2) Al-jami’ al-shahih Muslim, (3) sunan al-Nasa’I, (4) sunan Abu Dawud, (5) sunan al-turmudzu,dan (9) sunan Ibn Majah. Keenam kitab inilah yang terkenal dengan sebutan: al-kutub al-sittah,yakni kitab-kitab pokok yang enam.
      Berikut ini akan diuraikan sekedarnya mengenai kitab-kitab shahih dan sunan yang enam (al-kutub al-sittah):
1)      Shahih Bukhari
            Dengan syarat dan proses keshahihan (tasbih) yang tinggi seperti tersebut di atas ditambah dengan keistimewaan yang menonjol dalam bidang hafalan dan keahliannya dalam meniliti perawi, maka al-Bukhari telah membawa al’jami al-shahih-nya ke tempat yang tertinggi diantara kitab-kitab hadist. “ Dialah kitab hadist yang paling shahih sesudah al-qur’an”. Demikian para ulama ahli hadist bersepakat dalam menilai kitab hadist ini.
Penyusunan kitab-kitab pembantu
            Disamping telah melaksanakan penyusunan kitab-kitab hadist (kitab materi), para ulama Muhaditsin telah berhasil pula menyusun kitab pembantu, yang dalam hal ini terdiri dari: (1) Kitab ‘Ulumul Hadist, (2) Kitab Penunjuk,dan (3) Kitab Problema. Kitab ‘Ulumul Hadist adalah kitab-kitab yang berisi tentang ilmu Hadist (Fiqh al-Hadist). Kitab Problema adalah kitab yang berisi uraian yang bermaksud menghilangkan problematika yang timbul dari masa ke masa yang memberi pengaruh negative pada Hadist, berupa kitab-kitab sanggahan, analis dan tangkisan.

G.     Perkembangan Hadits Pada Masa Mutaakhir.
Periode ini disebut ‘Ashr al-Tahzhib wa al-Tartib wa al-Istidrak wa al-Jami’I wa al-Syarh wa al-Takhrij wa al-Bahts,’yaitu masa pembersihan, penyusunan, penambahan, pengumpulan, penyerahan, pentakhrijan dan pembahasan  yang berlangsung sejak abad IV sampai 656 H. 
Ulama yang hidup pada mulai abad IV disebut ulama Mutaakhir, sedangkan ulama yang hidup sebelumnya disebut ulama Mutaqaddimin.
Corak periwayatan Hadits pada masa mutaqaddimin dengan penukilan langsung dari para penghafal, sedangkan pada masa Mutaakhir para ulama mencukupkan periwayatan dengan menukil dan mengutip dari kita-kitab Hadits yang ditadwin oleh para ulama-ulama abad II dan III H.
Bertolak dari hasil tadwin itulah maka ulama-ulama di abad IV H memperluas system dan corak tadwin, menerbitkan penyusunan, penyusun spesialisasi dan kitab-kitab komentar serta kita-kitab gabungan dan lain-lainnya.
Aktivitas tadwin Hadits abad IV disebut aktivita tadwin ba’da tadwin. Dari keseluruhan aktivitas tersebut dapat dapat diklasifikasikan dan disimpulkan sebagai berikut :
1.      Tadwin Hadits dengan perluasan dan penyempurnaan system dan corak :
a.       Tadwin Hadits dengan mengumpulkan Hadits-hadits shahih yang tidak terdapat dalam kita-kitab shahih.
b.      Tadwin Hadits dengan mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat salah satunya yang kebetulan tidak dishahihkan ileh beliau, kitabnya disebut Mustadrak
c.       Tadwin istikhraj, yaitu dengan mengumpulkan hadits-hadits yang dimbilkan dari sesuatu kitab,misalnya dari al-jami’ al-shahih al-Bukhari, lalu meriwayatkan dengan sanad sendiri yang lain dari sanad yang terdapat pada kitab yang disebut Mutakhraj.
d.      Tadwin Athraf
e.       Tadwin dengan usaha mengumpulkan Hadits yang didapat dari suatu kitab, kemudian dikumpulkan dari suatu kitab lain dengan diterangkan siapa perawinya dan bagaimana nilainya. Kitab dengan tadwin cara ini disebut Kitab takhrij.
f.       Tadwin dengan menambah Hadits yang terdapat dalam kitab sebelumnya menjadi sebuah kitab tertentu  yang disebut Kitab Zawaid
g.      Tadwin Hadits dengan menggabungkan Hadits yang terhimpun pada kitab lainnya. Misalnya isi kitab-kitab shahih,kitab hasil tadwin dengan cara penggabungan ini disebut kitab Jami’ dan kalau lebih luas lagi disebut Jawami.
h.      Tadwin dengan komentar, penafsiran dan pembahasan secara luas dan mendalam dari isi kitab Hadits tertentu yang disebut Kitab Syarah.
i.        Tadwin dengan meringkas isi dari kitab Hadits tertentu yang disebut Kitab Mukhatashar.
2.      Penyusunan kitab Hadits secara spesialisasi, maksdunya tadwin dengan mengkhususkan ke dalam diwan-diwan tersebut. Materi-materi Hadits dalam bidang-bidang tertentu :
a.       Tadwin Hadits Hukuk, yaitu khusus membukukan Hadits mengenai Hukum.
b.      Tadwin Hadits Targhib, yaitu mengumpulkan hadits  mengenai keutamaan amal, menggemarkan perbuatan baik dan menjauhkan perbuatan terlarang.
c.       Tadwin Hadits Qudsi, yaitu menghimpun hadits Qudsi yang disabdakan oleh Nabi SAW.dengan menisbahkan perkataan itu kepada Allah SWT.
d.      Tadwin Hadits Adzkar, yaitu menghimpun hadits adzkar.




BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Sejarah perkembang hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman umat darigenerasi ke generasi.
periodisasi sejarah hadits yang membaginya pada lima periode :
1.      Periode pertama : masa Rasullulah semenjak Rasullulah diangkat jadi Rasul sampai wafatnya “Masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam”
2.      Periode kedua : masa Khulafa’Ar-Rasyidin (11 H - 40 H)“Masa membatasi dan penyedikitan periwayatan”
3.      Periode ketiga : Masa Sahabat kecil dan Tabiin “Masa perkembangan dan penyebarluasan periwayatan hadits”.
4.      Periode keempat : Masa abad II dan III Hijriyah “Masa pembukuan dan penulisan”.
5.      Periode kelima : Masa Mutaakhir “Masa Penyempurnaan penyususnan hadits”
Pada periode ini sejarah hadist disebut “ Ashr al – Wahyiwa al – Takwin” ( masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat islam ). Pada saat inilah Hadist lahir berupa sabda (aqwal), af’al da taqrir. Nabi yang berfungsi menerangkan al-qur’an dalam rangka menegakkan syari’at islam dan membentuk masyarakat Islam
Perkembangan hadits pada masa khulafa’al-Rasyidin ini disebut juga sebagai ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’. Yaitu masa pembatasan dan penyedikitan periwayat
Perkembangan Hadist Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar in disebut juga ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila A-Amshr’. Yaitu masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadits
Perkembangan Hadist pada masa abad II dan III H Periode ini disebut “ASAHR AL-Kitabah Al-Tadwin”, yakni masa penulisan dan pembukuan. Maksudnya penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah secara umum. Sebab kalau secara peroranga sebelum abad II H. hadist sudah banyak ditulis baik pada masa tabi’in sahabt kecil, sahabat besar dan bahkan sejak masa nabi SAW
Perkembangan Hadist Masa  Mutaakhir ini Periode ini disebut ‘Ashr al-Tahzhib wa al-Tartib wa al-Istidrak wa al-Jami’I wa al-Syarh wa al-Takhrij wa al-Bahts,’yaitu masa pembersihan, penyusunan, penambahan, pengumpulan, penyerahan, pentakhrijan dan pembahasan  yang berlangsung sejak abad IV sampai 656 H.  Ulama yang hidup pada mulai abad IV disebut ulama Mutaakhir, sedangkan ulama yang hidup sebelumnya disebut ulama Mutaqaddimin.



B.     Saran
Dengan penulisan makalah ini penulis berharap dengan mengetahui sejarah perkembangan hadits agar umat Islam  lebih bersifat inskusif terhadap beberapa hasanan pemikiran tentang segala hal. Sehingga ajaran Islam dapat menjadi dinamis dan dapat menjawab berbagai tuntunan perubahan zaman.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon. 2009. Ulumul Hadis. Jakarta: AMZAH
Agus Solahudin.2009.Ulumul Hadis.Bandung : Pustaka Setia
Endang Soetari. 2008. Ilmu Hadits : Kajian Riwayah & Dariyah. Bandung : MIMBAR PUSTAKA
Maslani. 2011. Ikhtiasri Ulumul Hadits. Bandung : CV. Insan Mandiri
Mudasir. 1999.Ilmu Hadis. Bandung : Pustaka Setia



1 komentar:

  1. Penjelasan dalam makalah ini , menurut saya cukup jelas dan cukup lengkap,terimakasih yah ,adinnda winda , karena makalah kamu sangaat , membantu sekali saya dalam mencari judul ini

    BalasHapus